Makalah sosiolingustik(monolingual
bilingual dan multilingual)
BAB I
PENDAHULUAN
I.I
Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia
untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan menguasai bahasa maka manusia dapat
mengetahui isi dunia melalui ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang baru dan
belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Sebagai alat komunikasi dan interaksi yang hanya dimiliki
oleh manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal.
Secara internal artinya pengkajian tersebut dilakukan terhadap unsur intern
bahasa saja seperti, struktur fonologis, morfologis, dan sintaksisnya saja.
Sedangkan kajian secara eksternal berarti kajian tersebut dilakukan terhadap
hal-hal atau faktor-faktor di luar bahasa, tetapi berkaitan dengan pemakai
bahasa itu sendiri, masyarakat tutur ataupun lingkungannya.
Pengkajian bahasa secara eksternal juga mengkaji bagaimana
pembauran berbagai bahasa dalam suatu wilayah dan penguasaan bahasa kedua,
ketiga bahkan selanjutnya oleh penutur atau pengguna bahasa. Seseorang yang
menguasai satu bahasa disebut monolingual, menguasai dua bahasa biasa disebut
bilingual dan menguasai bahasa lebih dari dua disebut multilingual (Chaer,
1995:112).
Sebagai seorang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa
dan juga dengan dua budaya, seorang dwibahasawan tentu tidak terlepas dari
akibat-akibat penggunaan dua bahasa. Salah satu akibatnya adalah tumpang tindih
antara dua sistem bahasa yang dipakai atau digunakannya dari unsur bahasa yang
satu ke bahasa yang lain. Ini dapat terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa
kedua oleh penutur atau bahkan karena kebiasaan. Percampuran unsur bahasa ini
disebut alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing).
Karena semakin berbaurnya budaya di era globalisasi ini,
alih kode dan campur kode sering terjadi baik dalam percakapan sehari-hari
maupun dalam sebuah wacana tulis. Hal ini yang mendasari penulis untuk
mengangkat masalah ini sebagai bahan untuk dikaji.
I.2 Rumusan
Masalah.
a.
Apa pengertian
bahasa ?
b.
Apa pengertian
kode, alih kode dan campur kode?
c.
Apa pengertian
monolingual ?
d.
Apa pengertian
dan contoh penggunaan dwilingual?
e.
Apa pengertian
dan contoh penggunaan multilingual?
I.3
Tujuan
Tujuaan dari makalah ini yaitu untuk dapat memberikan wacana kepada pembaca
berupa bahasa sosiolinguistik yang dalam makalah kami menjelaskan tentang
monolingual, bilingual dan multilingual dengan demikian para pembaca juga mampu
mengaplikasikan nilai – nilai yang termuat dalam kebahasaan yang telah kami
paparkan. Disamping itu makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah sosiolinguistik.
I.4
Manfaat
a.
Dapat memenuhi
Tugas Mata Kuliah Sosiolingustik.
b.
Dapat mengetahui tentang
monolingual, bilingual, dan multilingual.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Bahasa
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih
dari satu makna atau pengertian. Banyak pakar yang membuat definisi
tentang bahasa dengan pertama-tama menonjolkan segi fungsinya. Bahasa adalah
sistem lambang bunyi arbiter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial
untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana,
1983: ).
Masalah lain yang berkenan dengan pengertian bahasa adalah
sebuah tuturan disebut bahasa, yang berbeda dengan bahasa lainnya; bilamana
hanya dianggap sebagai varian dari suatu bahasa. Dua buah tuturan bisa disebut
sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan dua buah patokan, yaitu patokan
linguistik dan patokan politis. Secara linguistik dua buah tuturan dianggap
sebagai dua buah bahasa yang berbeda, kalau anggota-anggota dari dua masyarakat
tuturan itu tidak saling mengerti. Karena rumitnya menentukan suatu parole
bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang lain, maka hingga kini
belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa yang ada di dunia ini
(lihat Crystal 1988:284).
2.2 Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di
dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa,
juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional, juga varian kelas
sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar),
varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat,
atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa
doa, dan bahasa lawak) Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki
kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan
kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register. ( http://pendekarjawa.wordpress.com/pembauran-pelbagai-bahasa-dalam-suatu-wilayah
monolingual-bilingual-multilingual/).
a. Pengertian Alih Kode
Alih kode ialah mengganti bahasa yang digunakan oleh
seseorang yang bilingual; umpamanya dari bahasa daerah kebahasa Indonesia;
Alasan-alasan penggunaan alih kode, antara lain :
a.
Kalau kita
berbicara dengan orang lain yang sama-sama mengerti bahasa daerah, tiba-tiba
ada orang ketiga yang tidak mengerti bahasa daerah itu. Maka terjadi alih kode
kebahasa lain yang dimengerti orang ketiga itu, umamanya bahasa Indonesia.
b. Kalau kita berbicara dengan oranng
lain yang meskipun mengerti bahasa daerah yang kita gunakan (umamanya bahasa
Jawa), untuk mengelakkan masalah penggunaan tingkat yang mana, kita menggunakan
bahasa Indonesia, yang dianggap netral itu.
c.
Untuk
member suasana yang lebih formal, umpamanya dalam interaksi dikantor, sekolah,
dan rumah-rumah ibadah, kita lebih suka menggunakan bahasa Indonesia daripada
bahasa daerah.
Dalam keadaan bilingual, ada kalanya penutur mengganti
unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur dalam pembicaraan yang dilakukannya, hal
ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa tersebut. Misalnya, pada
waktu si A berbahasa X dengan si B, datang si C yang tidak dapat berbahasa X
memasuki situasi berbahasa itu, maka si A dan B beralih memakai bahasa yang
dimengerti oleh si C. Kejadian semacam ini kita sebut alih kode. Appel dalam
Chaer (1995 :141) mendeskripsika Alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian
bahasa karena berubahnya situasi.
Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi
antar bahasa maka Hymes dalam Chaer (1995 :141) mengatakan alih kode bukan
hanya terjadi antar bahasa tetapi juga terjadi anatara ragam-ragam atau
gaya-gaya bahasa yang terdapat dalam suatu bahasa.
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini
mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang
satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya ragam akrab; atau dari
dialek satu ke dialek yang lain; atau dari tingkat tutur tinggi, misalnya kromo
inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan
sebagainya. Kridalaksana (1982: 7) menegaskan bahwa penggunaan variasi bahasa
lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya
partisipasi lain disebut alih kode.
Hymes (1964) mengemukakan faktor-faktor dalam suatu interaksi
pembicaraan yang dapat mempengaruhi penetapan makna, yaitu:
Siapa pembicara atau bagaimana pribadi pembicara ?
Di mana atau kapan pembicaraan itu berlangsung ?
Apa modus yang digunakan ?
Apa topik atau subtopik yang dibicarakan ?
Apa fungsi dan tujuan pembicaraan ?
Apa ragam bahasa dan tingkat tutur yang digunakan ?
Dari beberapa pendapat ahli di atas jelas bahwa alih kode
dapat terjadi pada masyarakat tutur yang bilingual, multilingual atau bahkan
pada masyarakat tutur monolingual. Dalam masyarakat tutur monolingual alih kode
terjadi pada tingkat tutur dalam bahasa tersebut, misalya dari bahasa jawa
kromo (inggil) ke bahasa Jawa ngoko ataupun sebaliknya.
b. Pengertian Campur Kode
Yang disebut campur kode ialah penggunaan dua atau lebih
bahasa, atau ragam bahasa secara santai antara orang-orang yang kita kenal
akrab.
Alasan-alasan penggunaan campur kode, antara lain :
a.
Kita dapat
dengan bebas mencampur kode (bahasa atau ragam bahasa) kita, khususnya apabila
ada istilah-istilah yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa lain.
b.
Seorang
penutur ingin menunjukan kemahirannya dalam berbahasa asing tertentu.
Kridalaksana (1982; 32) memberikan batasan campur kode atau
interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain
untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian
kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.
Nababan (1989:32) menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa
menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam
bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam
keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti.
Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal,
jarang terdapat campur kode. Ciri yang menonjol dari campur kode ini adalah
kesantaian atau situasi informal. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan
demikian, hal ini disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa
yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain
(bahasa asing).
Thelander (dalam Chaer 1995 : 152) Bila dalam suatu
peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa
bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Sedangkan apabila
dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa dan frase-frase yang digunakan
terdiri dari klausa dan frase campuran dan masing-masing klausa atau frase itu
tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah
campur kode.
Dengan kata lain campur kode (code-mixing) terjadi apabila
seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan
disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan
karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial dan tingkat
pendidikan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal.
Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, Ungkapan dalam bahasa tersebut
tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain,
walaupun hanya mendukung satu fungsi.
2.3 MONOLINGUAL
Monolingual adalah individu yang hanya mengusai satu bahasa
saja, lebih – lebih bila konsep bahasa yang dimaksud sangat sempit yakni hanya
sebatas pengertian ragam. (wijana dan rohmadi, 2010:55).
Faktor yang mempengaruhi monolingual, antara lain :
1. Didalam masyarakat yang tidak
diglosia dan tidak bilingual, tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi
serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan, keadaan ini hanya mungkin ada
dalam masyarakat primitive atau terpencil yang dewasa ini sukar ditemukan.
(Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2004: 118).
2. Dalam guyub diaglosa, anak-anak
kecil mula-mula belajar bahasa L, akibatnya hamper semua anak-anak muda adalah
ekabahasawan L. begitu menginjak dewasa kan memperoleh bahasa H, jadilah mereka
dwibahasawan L dan H.(Sumarsono dan paina partana, 2002 : 233)
2.4 BILINGUAL
Bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasaan. Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannyadengan orang lain secara bergantiaan .Mackey
(dalam Chaer dan Agustina 2004:84). Selain itu, Meckey mengelompokkan empat
aspek untuk mempermudah pembicaraan mengenai bilingual, yaitu sebagai berikut :
a.
Tingkat
kemampuan
Kemampuan
berbahasa akan nampak pada empat keterampilan, yaitu menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan ini mencakup level fonologi,
gramatik, leksis, semantic,dan stylistic.
b.
Fungsi
Tingkat
kefasihan berbahasa tergantung pada fungsi atau pemakaian bahasa itu. Dapat
dikatakan bahwa semakin sering bahasa itu dipakai, semakin fasihlah penuturnya.
Adapun factor yang mempengaruhi yaitu factor internal dan eksternal.
Factor
internal mencakup antara lain :
1.
Pemakain
internal seperti menghitung, perkiraan, berdoa, menyumpah,mimpi,menulis catatan
harian, dan mencatat
2.
Aptitude :
bakat atau kecerdasan, dan ini dipengaruhi oleh antara lain : 1. Sex 2. Usia 3.
Intelegensi 4. Ingatan 5. Sikap bahas 6. Motivasi
Faktor
eksternal di pengaruhi oleh :
1. Kotrak, artrinya kontak penutur
dengan bahasa di rumah,bahasa dalam masyarakat, bahasa disekolah, bahasa media
masa, dan korespondensi.
2.
Variabel
artinya variable dari kontak penutur tadi dan ditentukan oleh 1. Lamanya
kontak, 2 seringnya kontak, 3. Tekanan, artinya bidang yang mempengaruhi
penutur dalam pemakaian bahasa, seperti ekonomi, administrative, cultural,
politik, militer, historis, agama, dan demografi
c.
Pergantian
antar bahasa ( alternation)
Pergantian antar bahasa ini bergantung pada kefasihan dan
juga fungsi eksternal dan internal. Kondisi-kondisi penutur berganti bahasa
diciptakan paling tidak oleh tiga hal , yang pertama topic pembicaraan, yang
kedua orang yang terlibat dan ketegangan ( tension)
d. Interfensi ( interference)
Interfensi adalah kekeliruan yang disebabkan terbawanya
kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialeg ibu kedalam bahasa dialeg kedua.
Interfensi bias terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosa kata dan makna bahkan
budaya. Diskripsi interfensi dengan demikian bersifat individual, jadi bersifat
idiosinkrasi dan parole penutur.
Selain empat aspek yang telah dikemukakan oleh Meckey,
Alwasilah menambahkan dua aspek lainnya, yaitu:
e.
Pergeseran
bahasa (Language shift)
Bila suatu kelompok baru dating ke tempat lain dan bercampur
dengan kelompok setempat maka akan terjadilah pergeseran bahasa ( language
shift)
f.
Konvergensi
( convergence) dan Indonesianisasi
Konvergensi adalah kegiatan bertemu dan terutama bergerak
menuju kesatuan dan keseragaman.
Indonesianisasi adalah bahwa kosakata serapan itu mengalami
perubahan dalam bunyi dan ejaan disesuaikan dengan bahasa Indonesia.
Kedwibahasaan
yang ada di Indonesia, yaitu :
1.
Bahasa
daerah dan bahasa Indonesia
Kedwibahasaan di Indonesia (bahasa Daerah dan bahasa
Indonesia)
Penggunaan
kedwibahasaan ini dapat terjadi karena
a.
Dalam
sumpah pemuda tahun 1928 menggunakan bahasa Indonesia (pada waktu itu disebut
Maleis)dikaitka dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme.
b.
Bahasa –
bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar disamping pembinaan dan pengembangan
bahasa dan kebudayaan Indonesia.
c.
Perkawinan
campur antar suku
d. Perpindahan penduduk dari satu
daerah ke daerah lain disebabkan urbanisasi, transmigrasi, mutasi karyawan atau
pegawai, dan sebagainya.
e.
Interaksi
antar suku: yakni dalam perdagangan, sosialisasi dan urusan kantor atau
sekolah.
f.
Motivasi
yang banyak didorong oleh kepentingan profesi dan kepentingan hidup.
Namun,
sering para penutur bahasa daerah yang juga penutur bahasa Indonesia
menggunakan bahasa daerahnya yang bersifat informal disebabkan oleh beberapa
factor antara lain:
a.
Pada
upacara adat yang mengharuskan penggunaan bahasa daerah akan lebih mengesankan
dan lebih sesuai dengan suasana yang diharapkan.
b. Untuk menciptakan suasana khas;
umpamanya, antara anggota- anggota keluarga, teman akrab dan sebagaianya.
c.
Untuk
kepentingan sastra dan menikmati budaya.
Yang disebut campur kode ialah penggunaan dua atau lebih
bahasa, atau ragam bahasa secara santai antara orang-orang yang kita kenal
akrab.
Alasan-alasan penggunaan campur kode, antara lain :
c.
Kita dapat
dengan bebas mencampur kode (bahasa atau ragam bahasa) kita, khususnya apabila
ada istilah-istilah yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa lain.
d.
Seorang
penutur ingin menunjukan kemahirannya dalam berbahasa asing tertentu.
2.5 MULTILINGUAL
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa
bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk
masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk
(plural society). (Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 76).
Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi
bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan banyak factor.
Perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, pesatnya dunia
pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran
serta kemajuan jaman secara tidak langsung membaurkan antar bahasa.
Dalam sejarah terbentuknya bahasa yang aneka bahasa kita
melihat setidak – tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi,
penjajahan,federasi dan keanekabahasaan diwilayah perbatasan.
Ø Migrasi
Migrasi atau perpindahan pendudukyang menimbulkan masalah
kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah
sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah
dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Jenis kedua terjadi jika sejumlah kecil
anggota etnik memasuki wilayah yang sudah dibawah control nasional lainnya.
Ø
Penjajahan
Dalam
proses penjajahan control itu dipegang oleh sejumlah orang yang relative
sedikit dari nasionalitas pengontrol diwilayah baru itu.
Ø Federasi
Federasi
adalah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas dibawah control politik satu
Negara.
Ø Keanekabahasaan diwilayah perbatasan
Asal
mula keanekabahasaan bias terjadi diwilayah perbatasan akibatnya diperbatasan
bisa jadi ada penduduk yang jadi warganegara A tapi secara sosiokultural
menjadi warganegara B. Komplikasi wilayah perbatasan biasanya dihubungkan
dengan perang. Bangsa yang kalah dipaksa untuk menyerahkan sebagian
wilayahnya kepada yang menang.
2.6 DIGLOSIA
Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie.
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relative stabil, dimana selain
terdapat sejumlah dialek – dialek utama (lebih tepat:ragam – ragam utama) dari
satu bahasa, terdapat juga bahan lain. (Chaer dan Agustina,2004:93). Diglosia
juga dapat diartikan situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa
diberi keleluasaan untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya secara
proporsional. Situai kebahasaan ini, berlangsung sampai berabad-abad. Orang
orang yang hidup di masyarakat diglosia biasanya tidak memandang diglosia
sebagai suatu masalah.(Wijana dan Rohmadi,2006:34)
BAB III
PENUTUP
3.I
Kesimpulan
Seseorang yang menguasai satu bahasa disebut monolingual,
menguasai dua bahasa biasa disebut bilingual dan menguasai bahasa lebih dari
dua disebut multilingual. Sebagai seorang yang menggunakan bahasa lebih dari
satu akan mengakibatkan tumpang tindih antara dua sistem bahasa yang dipakai
atau digunakannya dari unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Ini dapat
terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur atau bahkan
karena kebiasaan. Percampuran unsur bahasa ini disebut alih kode (code
switching) dan campur kode (code mixing).
Alih kode dan campur kode terjadi karena beralihnya topik
pembicaraan, lawan bicara, kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh pembicara dan
tujuan pembicaraan. Fungsi dan tujuan penggunaan alih kode adalah untuk
menegaskan pembicaraan pada lawan bicara. Pada campur kode tidak ada fungsi
khusus, hanya agar lebih santai dan lebih akrab dengan lawan bicara, seperti
pengunaan bahasa gaul yang diselipkan diantara kalimat.
Sedangkan campur kode terjadi apabila seorang penutur
menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan
unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur,
seperti latar belakang sosial dan tingkat pendidikan. Biasanya ciri menonjolnya
berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan
bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada
keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.
DAFTAR
PUSTAKA
http://pendekarjawa.wordpress.com/pembauran-pelbagai-bahasa-dalam-suatu-wilayah
monolingual-bilingual-multilingual/, diakses pada 20 Maret 2011.
Subyagto, Sri Utari.1988.Psikolingustik
Suatu Pengantar.Jakarta:DepDikNas.
Abdul
Chaedar dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Paulston
and Tucker.2003. Sociolinguistic the Essential Readings. USA: Blackwell
Publishing Ltd.
Alwasilah, Chaedar.1985. Sosiologi
Bahasa. Bandung : Angkasa.
Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi,
Muhammad.2010.Sosiolingustik Kajian Teori dan
Analisis.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
http://www.docstoc.com/docs/20859576/Situasi-Kebahasaan-di-Wilayah-Pangandaran-
Suatu-Kajian.Diakses pada 25 Maret
2011.
Sumarsono dan Partana, Paina.2002.Sosiolinguistik.Yogyakarta:Sabda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar