Apakah batal wudhu karena memegang wanita?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
memegang wanita apakah membatalkan wudlu atau tidak, dan yang rajih adalah
pendapat yang mengatakan bahwa memegang wanita tidak membatalkan wudlu secara
mutlak, berdasarkan beberapa dalil diantaranya:
Hadits
'Aisyah radliyallahu 'anha :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى
الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
"Sesungguhnya
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar
menuju shalat tanpa berwudlu lagi". (HR At Tirmidzi dan lainnya).
Dikeluarkan oleh At Tirmidzi dan ibnu Majah dari jalan Wakie' dari
Al A'masy dari Habib bin Abi Tsabit dari 'Urwah dari Aisyah. Qultu: "Sanad
Ini lemah karena Habib bin Abi Tsabit ini mudallis dan telah meriwayatkan
dengan lafadz 'an, selain itu ia diperselisihkan pendengarannya dari 'Urwah.
Namun Habib dimutaba'ah oleh Hisyam bin 'Urwah dari 'Urwah dari Aisyah dengan
lafadz: "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencium sebagian
istrinya dalam keadaan beliau berpuasa". Dikeluarkan oleh Ishaq bin
Rahawaih dalam musnadnya dan ini
adalah sanad yang shahih, dan ini tidak bertentangan dengan lafadz Habib bin
Abi Tsabit karena diriwayatkan dari jalan Ali bin Abdul 'Aziz haddatsana 'Ashim
bin Ali haddatsana Abu Uwais haddatsani Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari
Aisyah bahwa sampai kepadanya perkataan ibnu Umar wajibnya berwudlu karena
mencium istri, Aisyah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mencium dalam keadaan puasa kemudian tidak berwudlu lagi". Dikeluarkan
oleh Ad Daraquthni dalam sunannya 1/136, Qultu: "Sanad ini hasan, Ali bin
Abdul 'Aziz adalah Al Baghawi tsiqah, dan 'Ashim bin Ali dikatakan oleh Al
Hafidz: "Shaduq". Sedangkan Abu Uwais namanya Abdullah bin Abdullah
bin Uwais Al Ashbahi ia perawi yang shaduq yahim, para ulama mengkritiknya
karena hafalannya yang buruk dan suka menyalahi para perawi lain sebagaimana
yang dikatakan oleh ibnu Abdil Barr, namun disini ia tidak menyalahi. Maka
hadits ini menjadi shahih dengannya. Wallahu a'lam.
Dan hadits ini mempunyai jalan lain yaitu dari jalan 'Atha dari Aisyah
dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam musnadnya: Haddatsana Isma'il bin Ya'qub bin
Subaih haddatsana Muhammad bin Musa bin A'yan haddatsana ayahku dari Abdul
Karim Al jazari dari 'Atha dari Aisyah. Qultu: "Sanad ini shahih semua
perawinya tsiqah". Dan Ad Daraquthni 1/137 meriwayatkannya dari jalan Al
Walid bin Shalih dari Ubaidullah bin Amru dari Abdul Karim dan ini adalah sanad
yang shahih.
Hadits
ini menunjukkan dengan jelas bahwa memegang wanita tidak membatalkan wudlu,
karena dalam hadits ini disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
mencium sebagian istrinya yaitu Aisyah kemudian shalat tanpa berwudlu lagi,
kalaulah membatalkan tentu beliau berwudlu kembali.
Hadits
Aisyah radliyallah 'anha ia berkata:
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ
فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا
مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ...
"Suatu
malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari ranjang,
akupun mencarinya maka tanganku memegang perut kedua kakinya yang bediri
sedangkan beliau di dalam masjid, beliau sedang berdo'a: "Allahumma A'udzu biridlaka min sakhathika…
(HR Muslim).
Kalaulah memegang wanita itu membatalkan wudlu secara mutlak tentu
beliau membatalkan shalatnya.
Hadits
Aisyah juga, ia berkata:
إِنْ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي وَإِنِّي لَمُعْتَرِضَةٌ
بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ
مَسَّنِي بِرِجْلِهِ
"Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat sementara aku melintang di
hadapannya seperti melintangnya janazah sehingga apabila beliau ingin shalat
witir beliau menyentuhku dengan kakinya". (HR Ahmad dan An Nasai).
Adapun dalil madzhab yang berpendapat batalnya wudlu karena
memegang wanita adalah qira'at أو لمستم النساء "Atau engkau
memegang wanita". Ibnu Mas'ud dan ibnu Umar menafsirkan bahwa yang
dimaksud dengan "lamastum" adalah memegang selain jima', akan tetapi
penafsiran mereka diselisihi oleh ibnu 'Abbas yang menafsirkan bahwa makna
"Lamastum" artinya jima, beliau berkata: "Ia adalah jima' akan
tetapi Allah memberi kiasan apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia
kehendaki".
Dan penafsiran ibnu Abbas ini yang rajih karena di dukung oleh
hadits-hadits di atas, dan juga di dukung oleh redaksi ayat tersebut. Karena
apabila kita perhatikan firman Allah ta'ala: "Wahai orang-orang yang
beriman apabila kamu hendak shalat maka cucilah…dst adalah thaharah dengan air
untuk hadats kecil, kemudian firman-Nya: "Dan jika kamu junub maka
mandilah". Ini adalah thaharah dengan air untuk hadats besar.
Dan firman-Nya: "Dan Jika kamu sakit atau berpergian jauh
atau buang air atau lamastum wanita maka bertayammumlah". Artinya
bertayammumlah untuk dua hadats tersebut, sehingga tampak kepada kita bahwa
firman Allah: " atau buang air". Menjelaskan hadats kecil dan
firman-Nya: " atau lamastum wanita". Menjelaskan hadats besar.
Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Bani rahimahullah dalam
shahih sunan Abi Dawud no 172.
no 672 tahqiq Abdul Ghafur Al Balusyi.
Dari jalan Laits dari Yazid bin Al Haad dari Abdurrahman bin Al
Qasim dari Al Qasim bin Muhammad dari Aisyah. Qultu: "Sanad ini shahih
sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim".