Rabu, 03 Oktober 2012

monolingual, bilingual, dan multilingual


Makalah sosiolingustik(monolingual bilingual dan multilingual)


BAB I
PENDAHULUAN

I.I   Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan menguasai bahasa maka manusia dapat mengetahui isi dunia melalui ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang baru dan belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Sebagai alat komunikasi dan interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal. Secara internal artinya pengkajian tersebut dilakukan terhadap unsur intern bahasa saja seperti, struktur fonologis, morfologis, dan sintaksisnya saja. Sedangkan kajian secara eksternal berarti kajian tersebut dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor di luar bahasa, tetapi berkaitan dengan pemakai bahasa itu sendiri, masyarakat tutur ataupun lingkungannya.
Pengkajian bahasa secara eksternal juga mengkaji bagaimana pembauran berbagai bahasa dalam suatu wilayah dan penguasaan bahasa kedua, ketiga bahkan selanjutnya oleh penutur atau pengguna bahasa. Seseorang yang menguasai satu bahasa disebut monolingual, menguasai dua bahasa biasa disebut bilingual dan menguasai bahasa lebih dari dua disebut multilingual (Chaer, 1995:112).
Sebagai seorang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa dan juga dengan dua budaya, seorang dwibahasawan tentu tidak terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa. Salah satu akibatnya adalah tumpang tindih antara dua sistem bahasa yang dipakai atau digunakannya dari unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Ini dapat terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur atau bahkan karena kebiasaan. Percampuran unsur bahasa ini disebut alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing).
Karena semakin berbaurnya budaya di era globalisasi ini, alih kode dan campur kode sering terjadi baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam sebuah wacana tulis. Hal ini yang mendasari penulis untuk mengangkat masalah ini sebagai bahan untuk dikaji.
           

I.2  Rumusan Masalah.
a.       Apa pengertian bahasa ?
b.      Apa pengertian kode, alih kode dan campur kode?
c.       Apa pengertian monolingual ?
d.      Apa pengertian dan contoh penggunaan dwilingual?
e.       Apa pengertian dan contoh penggunaan multilingual?


I.3   Tujuan
Tujuaan dari makalah ini yaitu untuk dapat memberikan wacana kepada pembaca berupa bahasa sosiolinguistik yang dalam makalah kami menjelaskan tentang monolingual, bilingual dan multilingual dengan demikian para pembaca juga mampu mengaplikasikan nilai – nilai yang termuat dalam kebahasaan yang telah kami paparkan. Disamping itu makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiolinguistik.

I.4  Manfaat
a.       Dapat memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiolingustik.
b.      Dapat mengetahui tentang monolingual, bilingual, dan multilingual.














     BAB II
         PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Bahasa
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna atau pengertian. Banyak  pakar yang membuat definisi tentang bahasa dengan pertama-tama menonjolkan segi fungsinya. Bahasa adalah sistem lambang bunyi arbiter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1983:  ).
Masalah lain yang berkenan dengan pengertian bahasa adalah sebuah tuturan disebut bahasa, yang berbeda dengan bahasa lainnya; bilamana hanya dianggap sebagai varian dari suatu bahasa. Dua buah tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan dua buah patokan, yaitu patokan linguistik dan patokan politis. Secara linguistik dua buah tuturan dianggap sebagai dua buah bahasa yang berbeda, kalau anggota-anggota dari dua masyarakat tuturan itu tidak saling mengerti. Karena rumitnya menentukan suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa yang ada di dunia ini (lihat Crystal 1988:284).

2.2 Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa, juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional, juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak) Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register. ( http://pendekarjawa.wordpress.com/pembauran-pelbagai-bahasa-dalam-suatu-wilayah monolingual-bilingual-multilingual/).


a.      Pengertian Alih Kode
Alih kode ialah mengganti bahasa yang digunakan oleh seseorang yang bilingual; umpamanya dari bahasa daerah kebahasa Indonesia;
Alasan-alasan penggunaan alih kode, antara lain :
a.       Kalau kita berbicara dengan orang lain yang sama-sama mengerti bahasa daerah, tiba-tiba ada orang ketiga yang tidak mengerti bahasa daerah itu. Maka terjadi alih kode kebahasa lain yang dimengerti orang ketiga itu, umamanya bahasa Indonesia.
b.      Kalau kita berbicara dengan oranng lain yang meskipun mengerti bahasa daerah yang kita gunakan (umamanya bahasa Jawa), untuk mengelakkan masalah penggunaan tingkat yang mana, kita menggunakan bahasa Indonesia, yang dianggap netral itu.
c.       Untuk member suasana yang lebih formal, umpamanya dalam interaksi dikantor, sekolah, dan rumah-rumah ibadah, kita lebih suka menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah.
Dalam keadaan bilingual, ada kalanya penutur mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur dalam pembicaraan yang dilakukannya, hal ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa tersebut. Misalnya, pada waktu si A berbahasa X dengan si B, datang si C yang tidak dapat berbahasa X memasuki situasi berbahasa itu, maka si A dan B beralih memakai bahasa yang dimengerti oleh si C. Kejadian semacam ini kita sebut alih kode. Appel dalam Chaer (1995 :141) mendeskripsika Alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.
Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa maka Hymes dalam Chaer (1995 :141) mengatakan alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa tetapi juga terjadi anatara ragam-ragam atau gaya-gaya bahasa yang terdapat dalam suatu bahasa.
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya ragam akrab; atau dari dialek satu ke dialek yang lain; atau dari tingkat tutur tinggi, misalnya kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana (1982: 7) menegaskan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode.
Hymes (1964) mengemukakan faktor-faktor dalam suatu interaksi pembicaraan yang dapat mempengaruhi penetapan makna, yaitu:
Siapa pembicara atau bagaimana pribadi pembicara ?
Di mana atau kapan pembicaraan itu berlangsung ?
Apa modus yang digunakan ?
Apa topik atau subtopik yang dibicarakan ?
Apa fungsi dan tujuan pembicaraan ?
Apa ragam bahasa dan tingkat tutur yang digunakan ?
Dari beberapa pendapat ahli di atas jelas bahwa alih kode dapat terjadi pada masyarakat tutur yang bilingual, multilingual atau bahkan pada masyarakat tutur monolingual. Dalam masyarakat tutur monolingual alih kode terjadi pada tingkat tutur dalam bahasa tersebut, misalya dari bahasa jawa kromo (inggil) ke bahasa Jawa ngoko ataupun sebaliknya.


b.      Pengertian Campur Kode
Yang disebut campur kode ialah penggunaan dua atau lebih bahasa, atau ragam bahasa secara santai antara orang-orang yang kita kenal akrab.
            Alasan-alasan penggunaan campur kode, antara lain :
a.       Kita dapat dengan bebas mencampur kode (bahasa atau ragam bahasa) kita, khususnya apabila ada istilah-istilah yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa lain.
b.      Seorang penutur ingin menunjukan kemahirannya dalam berbahasa asing tertentu.
Kridalaksana (1982; 32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.
Nababan (1989:32) menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Ciri yang menonjol dari campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian, hal ini disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).
Thelander (dalam Chaer 1995 : 152) Bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Sedangkan apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa dan frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.
Dengan kata lain campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik  penutur, seperti latar belakang sosial dan tingkat pendidikan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, Ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.

2.3  MONOLINGUAL
Monolingual adalah individu yang hanya mengusai satu bahasa saja, lebih – lebih bila konsep bahasa yang dimaksud sangat sempit yakni hanya sebatas pengertian ragam. (wijana dan rohmadi, 2010:55).
Faktor yang mempengaruhi monolingual, antara lain :
1.      Didalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual, tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan, keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil yang dewasa ini sukar ditemukan. (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2004: 118).
2.      Dalam guyub diaglosa, anak-anak kecil mula-mula belajar bahasa L, akibatnya hamper semua anak-anak muda adalah ekabahasawan L. begitu menginjak dewasa kan memperoleh bahasa H, jadilah mereka dwibahasawan L dan H.(Sumarsono dan paina partana, 2002 : 233)

2.4  BILINGUAL
Bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannyadengan orang lain secara bergantiaan .Mackey (dalam Chaer dan Agustina 2004:84). Selain itu, Meckey mengelompokkan empat aspek untuk mempermudah pembicaraan mengenai bilingual, yaitu sebagai berikut :
a.       Tingkat kemampuan
Kemampuan berbahasa akan nampak pada empat keterampilan, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan ini mencakup level fonologi, gramatik, leksis, semantic,dan stylistic.
b.      Fungsi
Tingkat kefasihan berbahasa tergantung pada fungsi atau pemakaian bahasa itu. Dapat dikatakan bahwa semakin sering bahasa itu dipakai, semakin fasihlah penuturnya. Adapun factor yang mempengaruhi yaitu factor internal dan eksternal.
Factor internal mencakup antara lain :
1.      Pemakain internal seperti menghitung, perkiraan, berdoa, menyumpah,mimpi,menulis catatan harian, dan mencatat
2.      Aptitude : bakat atau kecerdasan, dan ini dipengaruhi oleh antara lain : 1. Sex 2. Usia 3. Intelegensi 4. Ingatan 5. Sikap bahas 6. Motivasi
Faktor eksternal di pengaruhi oleh :
1.      Kotrak, artrinya kontak penutur dengan bahasa di rumah,bahasa dalam masyarakat, bahasa disekolah, bahasa media masa, dan korespondensi.
2.      Variabel artinya variable dari kontak penutur tadi dan ditentukan oleh 1. Lamanya kontak, 2 seringnya kontak, 3. Tekanan, artinya bidang yang mempengaruhi penutur dalam pemakaian bahasa, seperti ekonomi, administrative, cultural, politik, militer, historis, agama, dan demografi
c.       Pergantian antar bahasa ( alternation)
Pergantian antar bahasa ini bergantung pada kefasihan dan juga fungsi eksternal dan internal. Kondisi-kondisi penutur berganti bahasa diciptakan paling tidak oleh tiga hal , yang pertama topic pembicaraan, yang kedua orang yang terlibat dan ketegangan ( tension)
d.      Interfensi ( interference)
Interfensi adalah kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialeg ibu kedalam bahasa dialeg kedua. Interfensi bias terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosa kata dan makna bahkan budaya. Diskripsi interfensi dengan demikian bersifat individual, jadi bersifat idiosinkrasi dan parole penutur.
Selain empat aspek yang telah dikemukakan oleh Meckey, Alwasilah menambahkan dua aspek lainnya, yaitu:
e.       Pergeseran bahasa (Language shift)
Bila suatu kelompok baru dating ke tempat lain dan bercampur dengan kelompok setempat maka akan terjadilah pergeseran bahasa ( language shift)
f.       Konvergensi ( convergence) dan Indonesianisasi
Konvergensi adalah kegiatan bertemu dan terutama bergerak menuju kesatuan dan keseragaman.
Indonesianisasi adalah bahwa kosakata serapan itu mengalami perubahan dalam bunyi dan ejaan disesuaikan dengan bahasa Indonesia.

Kedwibahasaan yang ada di Indonesia, yaitu :
1.      Bahasa daerah dan bahasa Indonesia
Kedwibahasaan di Indonesia (bahasa Daerah dan bahasa Indonesia)
Penggunaan kedwibahasaan ini dapat terjadi karena
a.       Dalam sumpah pemuda tahun 1928 menggunakan bahasa Indonesia (pada waktu itu disebut Maleis)dikaitka dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme.
b.      Bahasa – bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar disamping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia.
c.        Perkawinan campur antar suku
d.      Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain disebabkan urbanisasi, transmigrasi, mutasi karyawan atau pegawai, dan sebagainya.
e.       Interaksi antar suku: yakni dalam perdagangan, sosialisasi dan urusan kantor atau sekolah.
f.       Motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi dan kepentingan hidup.
Namun, sering para penutur bahasa daerah yang juga penutur bahasa Indonesia menggunakan bahasa daerahnya yang bersifat informal disebabkan oleh beberapa factor antara lain:
a.       Pada upacara adat yang mengharuskan penggunaan bahasa daerah akan lebih mengesankan dan lebih sesuai dengan suasana yang diharapkan.
b.      Untuk menciptakan suasana khas; umpamanya, antara anggota- anggota keluarga, teman akrab dan sebagaianya.
c.       Untuk kepentingan sastra dan menikmati budaya.

Yang disebut campur kode ialah penggunaan dua atau lebih bahasa, atau ragam bahasa secara santai antara orang-orang yang kita kenal akrab.
            Alasan-alasan penggunaan campur kode, antara lain :
c.       Kita dapat dengan bebas mencampur kode (bahasa atau ragam bahasa) kita, khususnya apabila ada istilah-istilah yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa lain.
d.      Seorang penutur ingin menunjukan kemahirannya dalam berbahasa asing tertentu.

2.5 MULTILINGUAL
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). (Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 76).
Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan banyak factor. Perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, pesatnya dunia pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran serta kemajuan jaman secara tidak langsung membaurkan antar bahasa.
Dalam sejarah terbentuknya bahasa yang aneka bahasa kita melihat setidak – tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi, penjajahan,federasi dan keanekabahasaan diwilayah perbatasan.
Ø  Migrasi
Migrasi atau perpindahan pendudukyang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Jenis kedua terjadi jika sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah dibawah control nasional lainnya.
Ø  Penjajahan
Dalam proses penjajahan control itu dipegang oleh sejumlah orang yang relative sedikit dari nasionalitas pengontrol diwilayah baru itu.
Ø  Federasi
Federasi adalah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas dibawah control politik satu Negara.
Ø  Keanekabahasaan diwilayah perbatasan
Asal mula keanekabahasaan bias terjadi diwilayah perbatasan akibatnya diperbatasan bisa jadi ada penduduk yang jadi warganegara A tapi secara sosiokultural menjadi warganegara B. Komplikasi wilayah perbatasan biasanya dihubungkan dengan perang. Bangsa  yang kalah dipaksa untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada yang menang. 

2.6 DIGLOSIA
Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relative stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek – dialek utama (lebih tepat:ragam – ragam utama) dari satu bahasa, terdapat juga bahan lain. (Chaer dan Agustina,2004:93). Diglosia juga dapat diartikan situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa diberi keleluasaan untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya secara proporsional. Situai kebahasaan ini, berlangsung sampai berabad-abad. Orang orang yang hidup di masyarakat diglosia biasanya tidak memandang diglosia sebagai suatu masalah.(Wijana dan Rohmadi,2006:34)

                                                   BAB III
PENUTUP
3.I    Kesimpulan
Seseorang yang menguasai satu bahasa disebut monolingual, menguasai dua bahasa biasa disebut bilingual dan menguasai bahasa lebih dari dua disebut multilingual. Sebagai seorang yang menggunakan bahasa lebih dari satu akan mengakibatkan tumpang tindih antara dua sistem bahasa yang dipakai atau digunakannya dari unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Ini dapat terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur atau bahkan karena kebiasaan. Percampuran unsur bahasa ini disebut alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing).
Alih kode dan campur kode terjadi karena beralihnya topik pembicaraan, lawan bicara, kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh pembicara dan tujuan pembicaraan.  Fungsi dan tujuan penggunaan alih kode adalah untuk menegaskan pembicaraan pada lawan bicara. Pada campur kode tidak ada fungsi khusus, hanya agar lebih santai dan lebih akrab dengan lawan bicara, seperti pengunaan bahasa gaul yang diselipkan diantara kalimat.
Sedangkan campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial dan tingkat pendidikan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.


                                               








DAFTAR PUSTAKA


Subyagto, Sri Utari.1988.Psikolingustik Suatu Pengantar.Jakarta:DepDikNas.

Abdul Chaedar dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Paulston and Tucker.2003. Sociolinguistic the Essential Readings. USA: Blackwell Publishing Ltd.

Alwasilah, Chaedar.1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Angkasa.

Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad.2010.Sosiolingustik Kajian Teori dan      
            Analisis.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

http://www.docstoc.com/docs/20859576/Situasi-Kebahasaan-di-Wilayah-Pangandaran-
            Suatu-Kajian.Diakses pada 25 Maret 2011.

Sumarsono dan Partana, Paina.2002.Sosiolinguistik.Yogyakarta:Sabda.











metode pembelajaran bahasa arab


 


Semua pengajaran mengandung sesuatu tentang pilihan (seleksi), sesuatu tentang tahapan (gradasi), sesuatu tentang penyajian (presentasi), dan sesuatu tentang pengulangan (repetisi). Semua yang termasuk dalam pengajaran, apakah itu pengajaran matemati-ka, sejarah, geografi, bahasa dan lain-lain, merupakan unsur-unsur yang dapat dimasukkan dalam metoda (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 6). Dengan demikian dapat diketahui bahwa setiap metode tertentu akan senantiasa berkaitan dengan ketentuan-ketentuan tentang pilihan materi atau seleksi, gradasi, presentasi, dan repetisi atau latian-latihan dengan pengulangan materi dalam proses pembelajaran. Jadi metode itu merupakan sebuah sistem dari berbagai komponen yang berkaitan.
Seleksi materi dalam proses belajar mengajar diperlukan karena tidak mungkin mengajarkan semua cabang ilmu, harus dipilih bagian yang akan diajarkan. Gradasi itu penting sebab sesuatu yang telah diseleksi tak akan dapat diajarkan seluruhnya sekaligus, harus didahulukan sesuatu yang lebih mudah sebelum berpindah kepada yang agak sukar dan lebih sukar. Presentasi juga penting sebab tidak mungkin mengajarkan sesuatu kepada seseorang tanpa berkomunikasi kepada orang tersebut. Repetisi juga sangat peting sebab tidak mudah mengajarkan suatu keterampilan hanya dengan menerangkan sekali saja, atau memberikan contoh sekali saja.
Ibnu khaldun berkata, “Sesungguhnya Pembelajaran itu merupakan profesi yang membutuhkan  pengetahuan,  keterampilan,  dan  kecermatan  karena  ia sama halnya  dengan  pelatihan  kecakapan  yang  memerlukan  kiat,  strategi dan ketelatenan,  sehingga  menjadi  cakap  dan  professional.”  Penerapan metode Pembelajaran  tidak  akan  berjalan  dengan  efektif  dan  efisien  sebagai media pengantar  materi  Pembelajaran  bila  penerapannya  tanpa  didasari dengan pengetahuan yang memadai tentang metode itu. Sehingga metode bisa saja akan menjadi  penghambat  jalannya  proses  Pembelajaran,  bukan  komponen yang menunjang  pencapaian  tujuan,  jika  tidak  tepat  aplikasinya.  Oleh  karena itu, penting  sekali  untuk  memahami  dengan  baik  dan  benar  tentang karakteristik suatu  metode.  Secara  sederhana,  metode  Pembelajaran  bahasa  Arab dapat digolongkan  menjadi  dua  macam,  yaitu:  pertama,  metode tradisional/klasikal dan kedua, metode modern.
Metode  Pembelajaran  bahasa  Arab  tradisional  adalah  metode  Pembelajaran bahasa Arab yang terfokus pada “bahasa sebagai budaya ilmu” sehingga belajar bahasa  Arab berarti  belajar  secara  mendalam  tentang  seluk-beluk  ilmu  bahasa Arab,  baik  aspek gramatika/sintaksis  (Qowaid  nahwu),  morfem/morfologi (Qowaid as-sharf) ataupun sastra (adab). Metode yang berkembang dan masyhur digunakan untuk tujuan tersebut adalah Metode qowaid dan tarjamah. Metode tersebut  mampu  bertahan  beberapa  abad, bahkan  sampai  sekarang  pesantren-pesantren  di  Indonesia,  khususnya  pesantren salafiah  masih  menerapkan metode  tersebut.  Hal  ini  didasarkan  pada  hal-hal sebagai  berikut:  Pertama, tujuan Pembelajaran bahasa arab tampaknya pada aspek budaya/ilmu, terutama nahwu dan ilmu sharaf. Kedua kemampuan ilmu nahwu dianggap sebagai syarat mutlak  sebagai  alat  untuk  memahami  teks/kata  bahasa  Arab  klasik yang  tidak memakai  harakat,  dan  tanda  baca  lainnya.  Ketiga,  bidang  tersebut merupakan tradisi turun temurun, sehingga kemampuan di bidang itu memberikan “rasa percaya diri (gengsi) tersendiri di kalangan mereka”.
Metode  Pembelajaran  bahasa  Arab  modern  adalah  metode  Pembelajaran yang berorientasi  pada  tujuan  bahasa  sebagai  alat.  Artinya,  bahasa  Arab dipandang sebagai  alat  komunikasi  dalam  kehidupan  modern,  sehingga  inti belajar  bahasa Arab adalah  kemampuan  untuk  menggunakan  bahasa  tersebut secara  aktif  dan  mampu memahami  ucapan/ungkapan  dalam  bahasa  Arab. Metode  yang  lazim  digunakan dalam  Pembelajarannya  adalah  metode  langsung (tariiqah al - mubasysyarah). Munculnya metode ini didasari pada asumsi bahwa bahasa  adalah  sesuatu  yang  hidup, oleh  karena  itu  harus  dikomunikasikan  dan dilatih terus sebagaimana anak kecil belajar bahasa.
a. Metode Qawaid  dan Terjemah
Para  pakar  dan  praktisi  pembelajaran  bahasa  asing  sering  juga  menyebut metode ini dengan metode tradisional. Penyebutan tersebut berkaitan dengan sebuah  cerminan terhadap  cara-cara  dalam  jaman  Yunani  Kuno  dan  Latin dalam mengajarkan bahasa. Asumsi dasar metode ini adalah adanya „logika semesta  (universal  logic)  yang merupakan  dasar  semua  bahasa  di  dunia, sedangkan tata bahasa adalah cabang logika.
Metode ini ditujukan kepada peserta didik agar, (1) lebih mempu membaca naskah berbahasa Arab atau karya sastra Arab, dan (2)  memiliki nilai displin dan perkembangan intelektual. Pembelajaran dalam metode ini didominasi dengan kegiatan membaca dan menulis. Adapun kosakata yang dipelajari adalah kosakata dari tes bacaan, di mana kalimat diasumsikan sebagai unit yang terkecil dalam bahasa, ketepatan terjemahan diutamakan, dan bahasa Ibu digunakan dalam prose pembelajaran.
b. Metode Langsung (Mubâsyarah)
Karena adanya ketidak puasan dengan metode qawa’id dan tarjamah, maka terjadi suatu gerakan penolakan terhadap metode tersebut menjelang pertengahan abad ke 19. Banyak orang Eropa yang merasa bahwa buku-buku pembelajaran bahasa asing yang beredar tidaklah praktis, karena tidak mengajarkan bagaimana berbahasa namun lebih    memperhatikan pembicaraan tentang bahasa. Karena itu, banyak kemudian bergulir ide-ide untuk meperbaharui metode tersebut.
Berdasarkan asumsi yang ada dalam proses berbahasa antara Ibu dan anak, maka F.Gouin (1980-1992) mengembangkan suatu metode yang diberi nama dengan metode langsung (thariqah mubasyarah), sebuah metode yang sebenarnya juga pernah digunakan dalam dunia pembelajaran bahasa asing sejak jaman Romawi (± abad XV). Metode ini memiliki tujuan yang terfokus pada peserta didik agar dapat memiliki kompetensi berbicara yang baik. Karena itu, kegiatan belajar mengajar bahasa Arab dilaksanakan dalam bahasa Arab  langsung  baik  melalui  peragaan  dan  gerakan.  Penerjemahan  secara langsung dengan bahasa peserta didik dihindari.
c. Metode Silent Way (Guru Diam)
Metode ini digulirkan oleh C. Gatteno (1972). Kendati ia mengembangkan teori  dan  metode  pembelajaran  yang  terpisah  dengan  teori  Chomsky, namun didalamnya banyak persamaan. Ide dasarnya adalah bahwa belajar sangat bergantung pada diri (self) seseorang. Diri tersebut mulai berfungsi pada waktu manusia diciptakan dalam kandungan, dimana sumber awal tenaganya dalah DNA (deoxyribonu acid).  Diri menerima masukan-masukan dari luar dan mengolahnya sehingga menjadi bagian dari diri itu sendiri.
Dalam penggunaan metode silent way, guru lebih banyak diam, ia menggunakan gerakan, gambar dan rancangan untuk memancing dan membentuk reaksi. Guru menciptakan   situasi   dan lingungan yang mendorong peserta didik “mencoba-coba” dan menfasilitasi pembelajaran. Seolah  hanya  sebagai  pengamat,  guru  memberikan  model  yang  sangat minimal dan membiarkan peserta didik berkembang bebas, mandiri dan bertanggung  jawab.  Adapun  penjelasan,  koreksi  dan  pemberian  model sangat minim, lalu peserta didik membuat generalisasi, simpulan dan aturan yang diperlukan sendiri. Hanya saja, di dalamnya masih digunakan pendekatan struktural dan leksikal dalam pembelajaran.
d. Sugestopedia
Sugetopedia merupakan metode yang didasarkan pada tiga asumsi. Pertama, belajar itu melibatkan fungsi otak manusia, baik secara sadar ataupun dibawah sadar. Kedua, pembelajar mampu belajar lebih cepat dari metode- metode lain. Ketiga, Kegiatan belajar mengajar dapat terhambat oleh beberapa faktor, yakni (1) norma-norma umum yang berlaku di tengah masyarakat, (2) suasana yang terlalu kaku, kurang santai, dan (3) potensi pembelajar yang kurang diberdayakan oleh guru. Metode  ini dicetuskan oleh seorang psikiatri Bulgaria yang bernama George Lozanov.
Metode  Sugestopedia  mempunyai  tujuan agar peserta didik mampu bercakap-cakap tingkat tinggi. Dalam metode ini, butir-butir bahasa Arab dan terjemahannya disajikan dalam  bahasa Ibu dalam bentuk dialog. Tujuan utama bukan sekedar penghafalan dan pemerolehan kebiasaan, tetapi  tindakan  komunikasi.  Karena  kegiatan  belajar  meliputi  peniruan, tanya jawab, dan bermain peran, maka peserta didik diharapkan bisa metoleransi dan menerima perlakuan seperti kanak-kanak (infantilization).